Bandung,Bossnewsmedia.com – Baru-baru ini, dunia maya dihebohkan dengan sebuah video viral yang memperlihatkan seorang siswi mengomentari kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Apa pun posisi kita — apakah setuju atau tidak dengan komentar sang siswi — satu hal yang jelas: keberaniannya patut diapresiasi. Di tengah budaya hierarkis yang masih kuat, terlebih di dunia pendidikan dan pemerintahan kita, suara kritis dari kalangan muda semestinya menjadi sinyal positif, bukan malah dimatikan.
Minggu,(27/4/25).
Yang lebih penting, kita perlu menegaskan bahwa menyampaikan kritik adalah hak yang dilindungi oleh Undang-Undang. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dalam negara demokrasi, kritik bukanlah ancaman — ia adalah pilar penting untuk menjaga akuntabilitas kekuasaan.
Belenggu penjajahan itu di mulai dari pembungkaman Bicara di depan penguasa. Dengan keberanian berbicara di depan penguasa berarti telah memutus belenggu penjajahan.
Ini adalah Fenomena yang luar biasa Dimana hari ini hampir seluruh masyarakat Jawa Barat terhipnotis dengan konten-konten KDM tapi masih ada Gen Z yang memberikan kritik Objektifnya untuk Gubernur Jawa Barat.
Stop Normalisasi ” Deuk Bener Deuk Salah Pokona Bapak Aing, da bapak aing mah kaciri gawena jeung sok babagi duit ka rakyat” ini adalah kesalahan kita sebagai Civil society sebagai masyarakat hari ini kita sudah tersihir dengan konten-konten ini seolah tidak ada ruang lagi untuk mengkritisi kebijakan Gubernur Jabar. Padahal banyak sekali Polemik yang terjadi hari ini akibat dari Gubernur jabar muda merasa mempunyai backing netizen yang ter sihir oleh pencitraan kontennya sehingga Gubernur jabar merasa Super Power dan tidak mengindahkan Kritik Publik,Musyawarah dan pada akhirnya memberi keputusan sepihak tanpa menimbang Resikonya.
Namun, yang justru terjadi, reaksi Kang Dedi atas kritik tersebut memperlihatkan sikap yang patut dipertanyakan. Alih-alih merespons dengan sikap terbuka dan dewasa, tindakan beliau terlihat seperti abuse of power — menggunakan kekuasaan untuk menekan, bukan membina. Banyak keputusan dan langkah yang Kang Dedi ambil seolah dilakukan secara sepihak, tanpa ruang bagi penyeimbang atau kritik yang sehat. Ini tentu berbahaya dalam praktik demokrasi kita, bahkan di tingkat daerah.
Kebijakan yang baik lahir dari dialog, bukan dari monolog. Seorang pemimpin, betapapun populernya, tetap perlu diingatkan bahwa kritik adalah vitamin bagi kepemimpinan. Apalagi, jika segala urusan hanya berpusat pada satu figur tanpa mekanisme check and balance, maka yang terjadi bukan lagi kepemimpinan rakyat, melainkan kekuasaan pribadi.
Dalam situasi ini, Gerakan Mahasiswa Pasundan (GEMA PASUNDAN) menyatakan sikap siap mendampingi dan membersamai siswi tersebut. Ini adalah bentuk solidaritas dan tanggung jawab moral, untuk memastikan bahwa generasi muda yang berani bersuara tidak berjalan sendirian, dan tidak dibungkam oleh kekuasaan.
Kasus siswi ini adalah momentum. Ia mengingatkan kita bahwa ruang partisipasi publik, termasuk dari generasi muda, harus terus dibuka seluas-luasnya. Kita harus berani melindungi keberanian seperti ini. Sebab tanpa kritik, kekuasaan akan semakin liar; dan tanpa keberanian seperti yang ditunjukkan siswi ini, masa depan demokrasi kita akan semakin suram.
Bukan soal siapa yang benar atau salah. Ini tentang bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan: bukan untuk membungkam, tapi untuk mendengarkan.
Red